PRIMERY FORENSIC IDENTIFICATION

Suatu bencana dapat terjadi kapan dan dimana saja. Namun pada prinsipnya hal tersebut dapat diakibatkan baik oleh alam maupun manusia. Kondisi alam memegang peran penting akan timbulnya suatu bencana, termasuk Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dengan luas keseluruhan 5 juta kilometer persegi. Terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik utama duia yang memiliki setidaknya 400 gunung berapi dengan 150 diantaranya adalah gunung berapi aktif.
Ditambah dengan iklim tropis yang membuat beberapa bagian daerah basah oleh curah hujan yang melimpah sebaliknya pada daerah lain. Faktor manusia juga turut berperan menimbulkan bencana. Hal ini sering terkait dengan timbulnya banjir ataupun longsor akibat penggundulan hutan, kecelakaan lalu lintas dan terorisme.

Berbagai kejadian yang memakan banyak korban jiwa, terutama sejak kejadian Tsunami Aceh membuat kegiatan Identifikasi Korban Bencana Massal (Disaster Victim Identification) menjadi kegiatan yang penting dan dilaksanakan hampir pada setiap kejadian yang menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang banyak. Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu definisi yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengacu pada standar baku Interpol. Proses DVI meliputi 5 fase yang pada setiap fase memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Sedangkan dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan teknik yang dapat digunakan. Namun Interpol telah menentukan adanya Primary Identifier) yang terdiri dari fingerprint (FP), dental records (DR) dan DNA serta Secondary identifiers yang terdiri dari medical (M), property (P) dan photography (PG), dengan prinsip identifikasi adalah membandingkan data antemortem dan postmortem. Dan primary identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan secondary identifiers. Setiap bencana massal yang menimbulkan banyak korban jiwa, baik akibat Natural disaster ataupun Man made disaster tersebut, memiliki spesifikasi tertentu yang berbeda antara kasus yang satu dengan yang lain sehingga diperlukan tindakan pemeriksaan identifikasi dengan skala prioritas bahan yang akan diperiksa sesuai dengan keadaan jenazah yang ditemukan.

Adapun tujuan utama dari pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenal, yang kemudian dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan serta akhirnya menyerahkan kepada keluarganya, dengan dilakukan serangkaian metode identifikasi terutama dengan identifikasi primer yang jelas dilakukan awal sebagai pembeda yang signifikan antar individu. Akibat adanya kejadian bencana massal tersebut, akan menghasilkan keadaan jenazah yang mungkin dapat intak, separuh intak, membusuk, tepisah berfragmen-fragmen, terbakar menjadi abu, separuh terbakar, terkubur ataupun kombinasi dari bermacam-macam keadaan. Masalah akan timbul dengan tingkat kesulitan yang bervariasi manakala tindakan identifikasi termudah, sederhana yaitu secara visual tidak lagi dapat digunakan. Demikian juga pada jenazah yang membusuk lanjut dimana pemeriksaan identifikasi primer berdasarkan sidik jari sulit untuk dilakukan, maka masih dapat diharapkan pemeriksaan gigi geligi karena bersifat lebih tahan lama terhadap pembusukan. Namun keadaan gigi tersebut juga dipengaruhi faktor lingkungan tempat jenazah itu berada. Fakta berdasarkan pengalaman di lapangan, identifikasi korban meninggal massal melalui gigi-geligi mempunyai kontribusi yang tinggi dalam menentukan identitas seseorang. Pada kasus Bom Bali I, dimana korban yang teridentifikasi berdasarkan gigi - geligi mencapai 56%, korban kecelakaan lalu lintas bis terbakar di Situbondo mencapai 60%.

Hal ini pula yang terjadi pada jenazah korban tenggelamnya KM Senopati Nusantara, jenazah mengalami pembusukan lanjut yang berarti disertai dengan tidak utuhnya jaringan tubuh. Demikian pula pada jenazah korban terbakarnya Pesawat Garuda GA 200 PK-GZC Boeing 737 - 400 jurusan Jakarta–Yogyakarta, jenazah ditemukan terpanggang menjadi separuh arang. Namun dari dua kasus yang berbeda tersebut dapat ditentukan prioritas penentuan identifikasi primer yang berbeda pula, terutama terkait dengan keutuhan jaringan tubuh sesuai dengan modus kejadian kecelakaan. Hal ini terutama akan sangat mempengaruhi pelaksanaan fase rekonsiliasi mencetak sidik jari, khususnya sidik jari pada korban yang tewas dan keadaan mayatnya yang telah membusuk. Teknik pengembangan sidik jari pada jari yang keriput, serta mencopot kulit ujung jari yang telah mengelupas dan memasangnya pada jari yang sesuai pada jari pemeriksa, baru kemudian dilakukan pengambilan sidik jari, merupakan prosedur standar yang harus diketahui dokter.

Cara pengangkatan sidik jari yang paling sederhana adalah dengan metode dusting (penaburan bubuk). Biasanya metode ini digunakan pada sidik jari paten / yang tampak dengan mata telanjang. Sidik jari laten biasanya menempel pada lempeng aluminium, kertas, atau permukaan kayu. Agar dapat tampak, para ahli dapat menggunakan zat kimia, seperti lem (sianoakrilat), iodin, perak klorida, dan ninhidrin. Lem sianoakrilat digunakan untuk mengidentifikasi sidik jari dengan cara mengoleskannya pada permukaan benda aluminium yang disimpan di dalam wadah tertutup, misalnya stoples. Dalam stoples tersebut, ditaruh juga permukaan benda yang diduga mengandung sidik jari yang telah diolesi minyak. Tutup rapat stoples.

Sianoakrilat bersifat mudah menguap sehingga uapnya akan menempel pada permukaan benda berminyak yang diduga mengandung sidik jari. Semakin banyak sianoakrilat yang menempel pada permukaan berminyak, semakin tampaklah sidik jari sehingga dapat diidentifikasi secara mudah. Cara lainnya dengan menggunakan iodin. Iodin dikenal sebagai zat pengoksidasi. Jika dipanaskan, iodin akan menyublim, yaitu berubah wujud dari padat menjadi gas. Kemudian, gas iodin ini akan bereaksi dengan keringat atau minyak pada sidik jari. Reaksi kimia ini menghasilkan warna cokelat kekuning-kuningan. Warna yang dihasilkan tidak bertahan lama sehingga harus segera dipotret agar dapat didokumentasikan. Zat kimia lain yang biasa digunakan adalah perak nitrat dan larutan ninhidrin. Jika perak nitrat dicampurkan dengan natrium klorida, akan dihasilkan natrium nitrat yang larut dan endapan perak klorida. Keringat dari pelaku mengandung garam dapur (natrium klorida, NaCl) yang dikeluarkan melalui pori-pori kulit. Pada praktiknya, larutan perak nitrat disemprotkan ke permukaan benda yang diduga tersentuh pelaku. Setelah 5 menit, permukaan benda akan kering dan perak nitrat pun terlihat. Lalu, sinar terang atau ultra violet yang disorotkan ke permukaan benda akan membuat sidik jari yang mengandung perak nitrat terlihat. Seperti halnya iodin, warna yang dihasilkan tidak bertahan lama sehingga harus segera dipotret agar dapat didokumentasikan. Ninhidrin merupakan zat kimia yang dapat bereaksi dengan minyak dan keringat menghasilkan warna ungu. Jika jari pelaku kejahatan mengandung minyak atau keringat, lalu tertempel pada permukaan benda, sidik jarinya akan terlihat dengan cara menyemprotkan larutan ninhidrin. Setelah dibiarkan selama 10-20 menit, akan tampak warna ungu. Proses ini dapat dipercepat dengan memanfaatkan panas lampu. Metode paling mutakhir yang digunakan untuk mengidentifikasi sidik jari adalah teknik micro-X-ray fluorescence (MXRF). Teknik ini dikembangkan oleh Christopher Worley, ilmuwan asal University of California yang bekerja di Los Alamos National Laboratory. Dibandingkan dengan metode lainnya yang biasa digunakan, teknik MXRF mempunyai beberapa kelebihan. MXRF dapat mengidentifikasi sidik jari yang tidak dapat diidentifikasi metode lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Merawat Bayi Baru Lahir

AC SPLIT

Menghitung Headloss