Total Quality Management (TQM)
1. Konsep Total Quality Management (TQM)
Total
Quality Management
(TQM) merupakan suatu pendekatan manajemen yang berkembang dari Amerika
Serikat, dipelopori oleh pakar manajemen kualitas yaitu Deming, Juran, dan
Crosby. Ada beberapa definisi TQM. Konsep TQM ini semula difokuskan untuk
bidang bisnis, dan kemudian berkembang pada hampir semua bentuk organisasi yang
profesioanl, dan baru baru ini mulai merambah masuk di organisasi kependidikan.
Menurut Hashmi (2004), TQM adalah filosofi manajemen yang mencoba
mengintegrasikan semua fungsi oganisasi dan terfokus untuk memenuhi keinginan
konsumen dan tujuan organisasi. Crosby berpendapat TQM adalah strategi dan
integrasi sistem manajemen untuk meningkatkan kepuasan konsumen, mengutamakan
keterlibatan seluruh manajer dan karyawan, serta menggunakan metode kuantitatif
(Bhat dan Cozzolino, 1993: 106-107). Dale (2003: 26) mendefinisikan TQM
berkaitan dengan bidang bisnis, yaitu sebagai
kerja sama yang saling mengun-tungkan dari semua orang dalam organisasi
dan dikaitkan dengan proses bisnis untuk menghasilkan nilai produk dan pelayanan
yang melampaui kebutuhan dan harapan konsumen.
Sementara itu, Direktorat Bina
Produktivitas (1998: 3) merumuskan TQM sebagai suatu sistem manajemen untuk
meningkatkan kualitas dan produktivitas dengan menggunakan pengendalian
kualitas dalam pemecahan masalah, mengikut sertakan seluruh karyawan untuk
memberikan kepuasan kepada pelanggan. Pengertian TQM secara mendetail (Handoko,
1998) adalah :
a. Total
TQM merupakan strategi organisasional
menyeluruh yang melibatkan semua jenjang dan jajaran manajemen dan karyawan,
bukan hanya pengguna akhir dan pembeli eksternal saja, tetapi juga pelanggan
internal, pemasok, bahkan personalia pendukung.
b. Kualitas
TQM lebih menekankan pelayanan kualitas, bukan
sekedar produk. Kualitas didefinisikan oleh pelanggan, ekspektasi konsumen
bersifat individual, tergantung pada latar belakang sosial ekonomis dan
karakteristik demografis.
c. TQM merupakan pendekatan manajemen,
bukan pendekatan teknis pengendalian kualitas yang sempit.
Implementasi
TQM dapat meningkatkan produktivitas organisasi (kinerja kuantitatif),
meningkatkan kualitas (menurunkan kesalahan dan tingkat kerusakan),
meningkatkan efektivitas pada semua kegiatan; meningkatkan efisiensi
(menurunkan sumberdaya melalui peningkatan produktivitas), dan mengerjakan segala
sesuatu yang benar dengan cara yang tepat. Lebih lanjut, implementasi TQM dalam
suatu organisasi dapat memberikan beberapa manfaat utama yang akhirnya dapat
meningkatkan daya saing organisasi (Pall dalam Tunggal, 1993).
Prinsip-prinsip
TQM Menurut Krajewski, Lee dan Ritzman (1999) adalah filosofi yang menekankan
pada tiga prinsip yaitu kepuasan
konsumen, keterlibatan karyawan dan perbaikan berkelanjutan atas kualitas. TQM
juga melibatkan benchmarking, desain produk barang dan jasa, desain
proses, dan hal-hal yang berkaitan
dengan pemecahan masalah (problem solving). Ahli mutu W. Edward Deming
menggunakan 14 langkah untuk menerapkan perbaikanmutu yang dikenal dengan ‘Deming’s
Fourteen Points’. Langkah-langkah tersebut dikembangkan menjadi lima konsep
program TQM yang efektif yaitu perbaikan berkelanjutan, pemberdayaan karyawan,
perbandingan kinerja (benchmarking), penyediaan kebutuhan tepat pada waktunya,
dan pengetahuan tentang piranti TQM (Render dan Herizer, 2004). Sedangkan
Juran(1995), mengembangkan ‘trilogi Juran’ dalam pengelolaan kualitas,
dilakukan melalui penggunaan tiga proses manajemen, yaitu:
a.
Perencanaan
kualitas: aktivitas pengembangan produk dan proses yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan konsumen.
b.
Pengendalian
kualitas: aktivitas evaluasi kinerja kualitas, membandingkan kinerja nyata
dengan tujuan kualitas, dan bertindak berdasarkan perbedaan.
c.
Peningkatan
kualitas: cara-cara meningkatkan kinerja kualitas ke tingkat yang lebih dari
sebelumnya
Prinsip-prinsip kunci TQM
lebih lengkap dijelaskan oleh Hashmi (2004) adalah:
a.
Komitmen
manajemen: perencanaan (dorongan, petunjuk), pelaksanaan (penyebaran, dukungan,
partisipasi), pemeriksaan (inspeksi), dan tindakan (pengakuan, komunikasi,
revisi).
b.
Pemberdayaan
karyawan: pelatihan, sumbang saran, penilaian dan pengakuan, serta kelompok
kerja yang tangguh.
c.
Pengambilan
keputusan berdasarkan fakta: stastistical process control, the seven
statistical tools.
d.
Perbaikan
berkelanjutan: pengukuran yang sistimetis dan fokus pada biaya non kualitas (cost
of non-quality), kelompok kerja yang tangguh, manajemen proses lintas
fungsional, mencapai, memelihara, dan meningkatkan standart.
e.
Fokus
pada konsumen: hubungan dengan pemasok, hubungan pelayanan dengan konsumen
internal, kualitas tanpa kompromi, standar oleh konsumen
Dalam
perkembangannya prinsip-prinsip TQM bukan sekedar pendekatan proses dan
struktur sebagaimana dijelaskan sebelumnya, TQM lebih merupakan pendekatan
kesisteman yang juga melibatkan aktivitas manajemen sumber daya manusia. Oleh
karena itu menurut Wilkinson (1992: 2-3), TQM pada hakekatnya memiliki dua sisi
kualitas yaitu hard side of quality dan soft side of quality. Hard
side of quality meliputi semua upaya perbaikan proses produksi mulai dari
desain produk sampai dengan penggunaan alat-alat pengendalian, dan perubahan
organisasional lainnya (struktur organisasi, budaya organisasi). Sedangkan, soft
side of quality terfokus pada upaya menciptakan kesadaran karyawan akan
pentingnya arti kepuasan konsumen dan menumbuhkan komitmen karyawan untuk
selalu memperbaiki kualitas. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan
dan pelatihan, pendekatan sistem pengupahan yang mendukung, dan struktur kerja.
Upaya tersebut termasuk kegiatan manajemen SDM
2. Total Quality Management (TQM) dalam bidang
Pendidikan
Salis
(1993) menjelaskan bahwa dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu,
usaha pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan
pelayanan kepada pelanggannya, yaitu mereka yang belajar dalam lembaga
pendidikan tersebut. Mereka yang belajar tersebut bisa merupakan
mahasiswa/pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang langsung
menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Para klien terkait
dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau
lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut sebagai
pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan lainnya
yang bersifat tersier adalah lapangan kerja bisa pemerintah maupun masyarakat
pengguna output pendidikan (tertiary external customers).
Selain itu, dalam hubungan kelembagaan
masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal dari interen lembaga;
mereka itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga
pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers).
Walaupun para para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta pimpinan
lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka
termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka
berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas
mereka diuntungkan, baik secara kebanggaan maupun finansial. Seperti disebut
diatas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada
kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan suatu lembaga haruslah
memperhatikan masing-masing pelanggan diatas. Kepuasan dan kebanggan dari
mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi
program peningkatan mutu layanan pendidikan. Sebagai contoh dari penerapan 14
prinsip-prinsip pencapaian mutu Edward Deming, kita bisa mengaplikasikan pada
perguruan tinggi. Uraian tentang penerapan prinsip-prinsip tersebut di lembaga
pendidikan/perguruan tinggi (Slamet, 1999), dapat meliputi hal-hal berikut:
a.
Untuk menjadi sekolah yang bermutu
perlu kesadaran, niat dan usaha yang sungguh-sungguh dari segenap unsur di
dalamnya. Pengakuan orang lain (mahasiswa, siswa, sejawat dan masyarakat) bahwa
sekolah kita adalah bermutu harus diraih.
b.
Sekolah yang bermutu adalah yang
secara keseluruhan memberikan kepuasan kepada masyarakat pelanggannya, artinya
harapan dan kebutuhan pelanggan terpenuhi dengan jasa yang diberikan oleh
sekolah tersebut. Kebutuhan pelanggan adalah berkembangnya SDM yang bermutu dan
tersedianya informasi, pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat, karya/produk
sekolah tersebut. Bentuk kepuasan pelanggan misalnya para lulusannya merasakan
manfaat pendidikannya dalam meniti
karirnya di lapangan kerja. Selain itu didalam sekolah tersebut terjadi
proses belajar-mengajar yang teratur dan lancar, guru atau dosen-dosennya produktif,
berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara, dan lulusannya berperestasi
cemerlang di masyarakat.
c.
Perhatian sekolah selalu ditujukan
pada kebutuhan dan harapan para
pelanggan: siswa, mahasiswa, masyarakat, industri, pemerintahan dan
lainnya, sehingga mereka puas karenanya.
d.
Dalam sekolah yang bermutu tumbuh
dan berkembang kerjasama yang baik antar sesama unsur didalamnya untuk mencapai
mutu yang ditetapkan. Sebagai contoh kelompok pengajar bekerjasama menyusun
startegi pembelajaran mahasiswa secara efektif dan efisien. Jika hanya satu
atau dua saja dosen yang mengajar secara baik tidaklah cukup, karena tidak akan
menjamin terjadinya mutu mahasiswa yang baik. Untuk itu, maka harus semua dosen
menjadi pengajar yang baik. Sebaliknya, jika dosennya menjadi pengajar yang
baik, maka mahasiswanya haruslah ingin belajar secara efektif. Proses belajar
mengajar tidak dapat dikatakan efektif dan efisien jika hanya sepihak, dosennya
saja atau mahasiswanya saja yang baik. Interaksi yang baik antar sesama unsur
dalam sekolah harus terjalin secara intensif, agar pencapaian mutu dapat
berhasil sesuai harapan. Dalam upaya menggiatkan kerjasama antar unsur dalam PT
tersebt perlu dibentuk “tim perbaikan mutu” yang diberi kewenangan untuk
mencari upaya agar mutu PT lebih baik. Untuk ini pelatihan kepada tim terutama
tentang cara-cara bekerjasama yang efektif dan efisisen dalam tim sangat
diperlukan.
e.
Diperlukan pimpinan yang mampu memotivasi,
mengarahkan, dan mempermudah serta mempercepat proses perbaikan mutu. Pimpinan
lembaga (Pimpinan Fakultas, Pimpinan Jurusan, Pimpinan Program Studi dan
pimpinan lainnya) bertugas sebagai motivator dan fasilitator bagi orang-orang
yang bekerja dibawah pengawasannya untuk mencapai mutu. Setiap atasan adalah
pemimpin, sehingga ia haruslah memiliki kepemimpinan. Kepemimpinan haruslah
yang membuat orang kemudian merasa lebih berdaya, sehingga yang dipimpin mampu
melaksanakan tugas pekerjaannya lebih baik dan hasil yang lebih baik pula.
f.
Semua karya sekolah (pengajaran,
penelitian, pengabdian, administrasi , dan lainnya) selalu diorientasikan pada
mutu, karena setiap unsur yang ada didalamnya telah berkomitmen kuat pada mutu.
Akibat dari orientasi ini, maka semua karya yang tidak bermutu ditolak atau
dihindari.
g.
Ada upaya perbaikan mutu sekolah
secara berkelanjutan. Untuk ini standar mutu yang ditetapkan sebelumnya selalu
dievaluasi dan diperbaiki sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki.
h.
Segala keputusan untuk perbaikan mutu
pelayanan pendidikan/pengajaran selalau
didasarkan data dan fakta untuk menghindari adanya kelemahan dan keraguan dalam
pelaksananannya.
i.
Penyajian data dan fakta dapat
ditunjang dengan berbagai alat dan teknik untuk perbaikan mutu yang bisa
dianalisis dan disimpulkan, sehingga tidak menyesatkan.
j.
Hendaknya pekerjaan di sekolah
jangan dilihat sebagai pekerjaan rutin yang sama saja dari waktu ke waktu,
karena bisa membosankan. Setiap kegiatan di sekolah harus direncanakan dan
dilaksanakan dengan cermat, serta hasilnya dievaluasi dan dibandingkan dengan
standar yang ditetapkan. Hendaknya tercipta kondisi pada setiap yang bekerja
dilembaga tersebut untuk bersedia belajar sambil bekerja, dan sedapat mungkin
diprogramkan baik belajar tentang materi, metode , prosedur dan lain-lain.
k.
Dari waktu ke waktu prosedur kerja
yang digunakan di sekolah perlu ditinjau apakah mendatangkan hasil yang
diharapkan. Jika tidak maka prosedur tersebut perlu diubah dengan yang lebih
baik.
l.
Perlunya pengakuan dan penghargaan
bagi yang telah berusaha memperbaiki mutu kerja dan hasilnya. Dosen-dosen dan
karyawan administrasi mencoba cara-cara kerja baru dan jika mereka berhasil
diberikan pengakuan dan penghargaan.
m.
Perbaikan prosedur antar fungsi di
PT sebagai bentuk kerjasama harus dijalin hubungan saling membutuhkan satu sama
lain. Tidak ada yang lebih penting satu unsur dari unsur yang lain dalam
mencapai mutu sekolah, misalnya, tenaga administrasi sama pentingnya dengan
tenaga pengajar, dan sebaliknya.
n.
Tradisikan pertemuan antar
pengajar dan mahasiswa untuk mereview proses belajar-mengajar dalam rangka
memperbaiki pendidikan/pengajaran yang bemutu. Pertemuan dengan orang tua
mahasiswa, pertemuan dengan tokoh masyarakat, dengan alumni, pemerintah daerah,
pengusaha dan donatur sekolah dapat dilakukan oleh penyelenggara sekolah.
Pendek kata, hendaknya semua unsur yang berkepentingan dengan sekolah dapat
berpartisipasi ikut mengembangkan sekolah mencapai mutu yang baik.
Mendasarkan hal-hal diatas, tampak
bahwa sebenarnya mutu pendidikan adalah merupakan akumulasi dari semua mutu
jasa pelayanan yang ada di lembaga pendidikan yang diterima oleh para
pelanggannya. Layanan pendidikan adalah suatu proses yang panjang, dan
kegiatannya yang satu dipengaruhi oleh kegiatannya yang lain. Bila semua
kegiatan dilakukan dengan baik, maka hasil akhir layanan pendidikan tersebut
akan mencapai hasil yang baik, berupa “mutu terpadu.”
3.
Daya saing
a.
Pengertian dan Faktor-Faktornya
Porter (1994: ix-xvii) dalam Tumar
Sumihardjo (2008) menyebutkan bahwa: istilah daya saing sama dengan competitiveness
atau competitive. Sedangkan istilah keunggulan bersaing sama dengan competitive
advantage. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 41 Tahun 2007
tentang Standar Proses, dinyatakan bahwa daya saing adalah kemampuan untuk
menunjukan hasil lebih baik, lebih cepat atau lebih bermakna”. Kemampuan yang
dimaksud dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 tersebut, diperjelas oleh Tumar
Sumihardjo (2008:11), meliputi: (1) kemampuan memperkokoh posisi pasarnya, (2)
kemampuan menghubungkan dengan lingkungannya, (3) kemampuan meningkatkan
kinerja tanpa henti, dan (4) kemampuan menegakkan posisi yang menguntungkan.
Tinggi rendahnya daya saing
seseorang/organisasi/instansi tergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Kuncoro (2008:102) menyebutkan bahwa berangkat dari konsep persaingan industri
dari Porter (1993), terdapat lima kekuatan yang mempengaruhi persaingan dalam
dunia pendidikan: (1) munculnya satuan pendidikan baru, termasuk lembaga asing
yang membuka cabangnya di Indonesia, (2) dibukanya jurusan atau program studi
baru oleh sekolah lain yang lebih menarik, (3) terjadinya perubahan dan
peningkatan kebutuhan dari masyarakat pengguna lulusan sekolah; (4) terjadinya
perubahan dan peningkatan kebutuhan dari para calon peserta didik/orang tua
peserta didik atas jenis dan layanan pendidikan yang dikehendaki, serta (5)
ancaman persaingan dari satuan pendidikan yang sudah ada.
Crevans
(1996) mengutip pendapat Day dan Wensley menyebutkan bahwa keunggulan bersaing dipandang sebagai
suatu proses dinamis. Prosesnya meliputi sumber keunggulan, keunggulan posisi,
dan prestasi akhir suatu investasi laba untuk mempertahankan keunggulan
bersaing. Berdasarkan pendapat Tumar Sumihardjo (2008),
Porter (1993), Kuncoro (2008) dan Agus Rahayu (2008), maka dapat dikemukakan
faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sekolah antara lain: (1) pimpinan
sekolah, (2) sistem keuangan, (3) infrastruktur dan sumber daya, (4) tata
kelola sekolah, (5) tanggung jawab sosial sekolah, (6) kualitas sumber daya
manusia, (7) kebijakan pemerintah; (6) partisipasi masyarakat dan dunia
usaha/dunia industri, serta (8) kualitas kinerja pelayanan sekolah.
b.
Strategi
Meraih Keunggulan Bersaing
Setiap organisasi mengharapkan
memiliki keunggulan bersaing terhadap organisasi lainnya. Dalam hal ini Agus
Rahayu (2008) menyebutkan dua strategi dasar yang bisa dilakukan oleh
organisasi, yaitu strategi bersaing (competitive strategy) dan strategi
kerja sama (cooperative strategy)”. Strategi bersaing, menurut Agus
Rahayu (2008) akan efektif apabila suatu organisasi memiliki sumber daya yang
lebih baik (superior resources). Sebaliknya apabila sumberdaya yang
dimiliki imperior (imperior resources), maka cooperative strategy
tepat untuk dipilih.
Berkaitan
dengan strategi bersaing (competitive strategy), Agus
Rahayu (2008) menerangkan lebih lanjut, bahwa dalam skenario perancangan dan
implementasinya strategi bersaing terdapat dua skenario yang dapat dipilih, yaitu
skenario biaya (cost strategy) dan skenario manfaat unik (differentiation
strategy). Substansi cost strategy berkaitan dengan penciptaan dan
penawaran produk, untuk satu satuan manfaat yang relatif sama, dengan harga
yang lebih rendah. Dalam hal ini, suatu satuan pendidikan menawarkan program
dan atau manfaat tertentu (relatif sama dengan yang ditawarkan satuan
pendidikan sejenis) dengan harga yang lebih rendah. Sedangkan substansi differentiation
strategy berkaitan dengan penciptaan dan penawaran produk, untuk satu
satuan manfaat yang lebih unik, dengan harga yang relatif sama. Untuk meraih
keunggulan, suatu satuan pendidikan dapat menawarkan program dan atau manfaat
yang lebih unik daripada yang ditawarkan satuan pendidikan sejenis dengan harga
yang relatif sama.
Kuncoro
(2008:97) yang menyebutkan bahwa faktor yang cukup penting untuk dilakukan oleh
lembaga pendidikan dalam rangka meningkatkan daya saingnya adalah dengan
melakukan aliansi strategis. Aliansi strategis kepada dunia usaha sebagai link
and match pendidikan dengan dunia usaha/industri merupakan salah satu upaya
dalam meningkatkan daya saing lembaga pendidikan. Secara umum kemitraan antara
lembaga pendidikan dengan dunia usaha dan industri bertujuan untuk:
1)
Mengembangkan
kerja sama kemitraan antara lembaga penyelenggara pendidikan dengan dunia
bisnis dan industri;
2)
Menyelaraskan
pembekalan kompetensi lulusan dengan kebutuhan lapangan;
3)
Memberi
pengalaman komparatif kepada mahasiswa untuk mengaktualisasikan pengetahuan
teoritik yang diperoleh di bangku kuliah ke dalam bentuk keterampilan empirik
yang dialaminya di dunia bisnis maupun industri;
4)
Memperluas
wawasan peserta didik dengan melihat langsung kondisi kehidupan nyata di
lapangan sehingga dapat mengenal lebih kongkrit tentang dunia kerja;
5)
Memberi
pengalaman bekerja secara langsung, sehingga peserta didik memiliki daya saing
yang lebih tinggi dengan dunia kerja yang akan dijalaninya kelak, dan mereka
dapat mempersiapkan diri menjadi sumberdaya manusia yang handal, mandiri, dan
profesional sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional.
Komentar
Posting Komentar